Selasa, 10 Juni 2008

kembalikan malang

kembalikan malang!!!

kalau kalian liat di artikelku,kalian tau pasti kalo malang "kota rocker",,
pada dekade 60-90an malang adalah kiblat musik indonesia
pada jaman itu,hanya ada dua pilihan :rock ato tidak!!!

tapi sekarang!!!
malang bukan hanya menjadi kota bunga yang identik dengan mellow
malang menjadi kota pop yang notabene adalah "sampah"
malah ada julukan M-pop,,yakni julukan bagi musik cengeng nan menye-menye
dari band pop asal malang,,misal,,,,(tau sendiri lahhh)

tapi untungnya....
rock gak mati di malang
nafas metal mulai bangkit!!!
berkat semangat djuang anak2 underground kota malang..
scene music rock di malang,,tetap terjaga
bahkan saat ini banyak band2 metal luar negeri yang "pinarak" dimalang..

save our malang!!!

Rabu, 28 Mei 2008

Why this happen to us (Taken from www.apokalip.com)

Tragedi konser metal maut di Bandung sebenernya bisa terjadi di mana saja dan kapan saja di Indonesia ini. Setelah sebelumnya konser-konser band mainstream yang menelan korban [Sheila On 7, Padi, Ungu] dan kita sering "ngejek" karena ternyata yang "menye-menye" jauh lebih "membunuh" dibanding yang rock, akhirnya sekarang kejadian juga di musik yang kita senangi.

Sepertinya kita terlalu menganggap remeh dan lupa bahwa sebenarnya malaikat maut juga sudah mengintai konser-konser underground. Banyak "bom waktu" sudah ditanam di berbagai venue konser seperti ini di seluruh Indonesia. Memang sepertinya tinggal nunggu momentum dan venue yang tepat untuk diledakkan saja.

Sudah menjadi rahasia umum juga kalo sejak puluhan tahun yang lalu organizer konser-konser indie/underground yang melibatkan ratusan atau ribuan penonton rata-rata tidak menganggap serius atau menyiapkan hal-hal di bawah ini ;
  • Tim medis, ruang medis atau mobil ambulance apabila terjadi insiden seperti ini.
  • Akses masuk-keluar venue dan pintu darurat buat penonton yang nggak diperhatikan serius atau diprioritaskan.
  • Kapasitas venue yang tidak diindahkan organizer.
  • Pembawa acara atau MC setelah konser berakhir tidak memberikan instruksi lewat pengeras suara bagi para penonton yang akan keluar dari venue
  • Tim keamanan (peace patrol) yang jumlahnya memadai, terlatih dan paham apa yang harus dilakukan jika terjadi keadaan darurat. Karena sebenarnya tidak perlu mengerahkan banyak polisi juga. Yang terpenting adalah tetap berkoordinasi dengan mereka.

Dan "bom waktu" itu akhirnya kemarin meledak juga di Bandung. Menelan korban jiwa 10 orang yang rata-rata kehabisan napas dan terinjak-injak. Kebanyakan masih remaja ABG pula. Sangat menyedihkan dan disesalkan pastinya. Tidak seharusnya juga ada orang mati sia-sia setelah nonton konser!

Sebagai penonton konser yang telah membayar tiket mereka tidak berhak mati, mereka malah berhak untuk bersenang-senang!

Kita semua langsung terkaget-kaget dan seperti nggak percaya kalau jenis musik death metal ternyata bisa berdampak secara harfiah seperti ini.

Pihak Enk Ink Enk sebagai organizer menurut gue sebenernya ketiban apes aja. Apes karena ternyata "bom waktu" itu meledak di konser yang mereka selenggarakan. Padahal selama sekitar 15 tahun ada konser-konser sejenis semuanya seperti berlangsung "aman-aman saja."

Gue percaya nggak ada satu pihak pun yang mengharapkan tragedi ini terjadi, termasuk pihak Enk Ink Enk sendiri. Karena mereka pun menyelenggarakan konser ini bukan untuk mengeruk keuntungan besar-besar tapi lebih karena semangat untuk mendukung band-band lokal dan gerakan musik underground itu sendiri.

Berapa sih keuntungan yang didapat dari penyelenggaraan konser underground dengan harga tiket Rp.10.000 seperti ini? Hampir tidak ada! Bisa jadi mereka malah merugi terus. Belum lagi jarangnya sponsor komersial yang mau mendukung proyek konser idealis seperti ini.

Lalu kenapa konser-konser seperti ini berlanjut terus?

Karena kita senang dan ingin terus bersenang-senang dengan musik ini tentunya. Senang kalau band-band teman kita yang bagus menjadi maju, lebih dikenal dan memiliki fanbase besar. Senang kalau teman-teman kita yang menggemari musik seperti ini bisa terhibur dan having a good time. Senang kalau kebudayaan ini bisa menjadi alternatif bagi publik untuk terhindar dari keseragaman jenis musik yang bahkan bisa merendahkan martabat sebagai manusia.

Lalu apakah kemudian organizernya bisa kaya? Tidak juga pastinya. Kalau kata dedikasi dianggap terlalu muluk tapi memang seperti itulah keadaan yang sebenarnya. Saya angkat topi setinggi-tingginya untuk organizer-organizer konser ini. Tanpa kerja mereka semua sudah pasti rock show punah dari negeri ini!

Buat orang awam gue yakin bakal susah untuk dimengerti alasannya. Begitu juga buat orangtua, polisi, gubernur, walikota dan birokrat-birokrat uzur lainnya. Selain korupsi mereka memang nggak akan pernah bisa mengerti apa yang anak-anak muda ini lakukan.

Polisi malah hanya bisa menuduh tanpa dasar kalau panitia konser ini "membagi-bagikan alkohol kepada para penonton." Tuduhan yang sangat tolol dari aparat kepolisian kita tentunya. Dan setelah otopsi dilakukan ternyata tidak terbukti dan mereka pun kembali belagak bego. Sejak kapan organizer konser bertiket murah bisa menjadi sinterklas?

Tujuannya pasti hanya untuk mendiskreditkan fans musik rock yang selalu distereotipkan akrab dengan alkohol dan narkotika. Mereka lupa atau belagak bego kalau di konser-konser dangdut tak hanya alkohol dan narkotika saja yang beredar, namun juga golok, celurit dan berbagai senjata tajam lainnya.

Karena publikasi tentang tragedi ini sudah sangat meluas ke dalam dan luar negeri, bahkan sudah jadi "insiden internasional" [Blabbermouth, BBC, AOL, Yahoo, MSNBC, Reuters] maka gue prediksi ini yang akan terjadi selanjutnya di scene musik lokal kita nantinya ;
  • Konser-konser band rock/metal internasional di Indonesia akan kembali mengalami kemunduran. Pihak booking agency artis-artis ini akan sangat cerewet mempertanyakan profesionalisme promotor lokal atau malah sepihak membatalkan kontrak-kontrak show di Indonesia. Alasan gampangnya mereka nggak akan mau menjadi kambing hitam apabila insiden yang sama terulang!
  • Para orangtua akan segera melarang anak-anak mereka yang masih ABG untuk datang ke konser-konser musik terlepas apapun itu jenis musiknya. Mereka sudah melihat mimpi buruknya langsung via televisi!
  • Kepolisian akan melarang atau sangat memperketat keluarnya izin penyelenggaraan konser musik (khususnya rock/metal).
  • Pemerintah daerah akan mengeluarkan seribu satu macam alasan untuk melarang penggunaan venue publik bagi aktivitas anak muda yang berhubungan dengan musik rock.
  • Sponsor-sponsor komersial akan menarik dukungannya bagi penyelenggaraan konser musik rock karena takut terkena imbasnya apabila terjadi insiden serupa.
  • Banyak EO/promotor rock yang gulung tikar dan berubah menjadi promotor dugem karena lebih menguntungkan dan indah secara visual.
  • Band-band rock indie/underground akan kesulitan mencari panggung.
  • Dan akhirnya scene musik rock lokal pun mati dengan sendirinya, haha.

Tapi tenang saja....

Negara ini sudah sangat terkenal karena hangat-hangat tahi ayamnya. Ketika tanah makam 10 korban ini belum mengering dijamin semua pihak di atas juga akan cepat lupa dengan tragedi ini. Semua larangan akan dilanggar dan semua upaya antisipasi tidak akan dipedulikan lagi. Semua akan kembali berjalan "normal" seperti sedia kala nantinya.

Yah, minimal sampai "bom waktu" yang lebih besar lagi meledak dan rekor korban jiwa terpecahkan nantinya. Bukankah 10 korban tewas di konser Ungu di Pekalongan hanya berselang 1 tahun saja dengan tragedi Bandung ini?

10? 20? 30? 100? 200 orang mati di konser rock? Bukan tidak mungkin.

Ini Indonesia, bung!



+++++++++++++++++++++



Kalau ini Amerika Serikat maka ini hak para penonton konser di sana ;
  • Hak untuk menikmati konser dalam lingkungan yang aman.
  • Hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari panitia, keamanan dan performers terlepas dari apapun yang berhubungan dengan SARA.
  • Hak untuk mendapatkan informasi tentang kewajiban-kewajiban bagi pemegang tiket dan menaati segala peraturan yang berlaku di venue.
Jika Anda sepakat ini bukan Indonesia maka seharusnya kita melakukan hal-hal dibawah ini di masa depan ;


Event Organizer / Promotor

  • Menyediakan tim medis, ruang medis dan mobil ambulance.
  • Tidak menjual tiket melebihi kapasitas venue (80% terisi, 20% kosongkan).
  • Menginformasikan tata letak venue dan letak pintu darurat di tiket.
  • Menginformasikan peraturan selama konser berlangsung di tiket.
  • Menginformasikan kepada penonton etiket di mosh-pit sebelum atau selama konser berlangsung.
  • Menginformasikan bahaya aksi stage-diving atau crowd surfing.
  • Menyediakan tim keamanan konser yang memadai, terlatih dan berpengalaman.
  • Memperhatikan ventilasi dan sirkulasi udara yang baik bagi penonton.
  • Suka atau tidak suka, menjalin koordinasi dengan polisi atau aparat keamanan selama dan setelah konser berlangsung.
  • Apapun yang terjadi di luar venue jangan membuka pintu masuk jika venue sudah 80% terisi. Hormati pembeli tiket, jangan hormati para penonton jebolan!

Performer [Musisi / Band]

  • Menginformasikan kepada penonton etiket di mosh-pit sebelum atau selama konser berlangsung.
  • Menginformasikan bahaya aksi stage-diving atau crowd surfing.
  • Segera memberhentikan konser jika terjadi keributan atau kerusuhan di moshpit.
  • Menciptakan kondisi yang kondusif selama konser berlangsung.
  • Melalui website-website band lakukan edukasi bagi para fans yang akan datang ke konser Anda.

Audience / Penonton

  • Membeli tiket.
  • Jangan lupa membawa identitas diri (KTP, KTM) jika pergi ke konser.
  • Jangan lupa makan dan minum secukupnya sebelum ke konser (apalagi jika konser di outdoor).
  • Taati peraturan yang berlaku selama konser berlangsung. Semuanya dibuat dengan alasan dan tujuan yang jelas: Demi konser yang aman dan nyaman.
  • Jika mengonsumsi alkohol sebelum ke konser pastikan takaran yang bijaksana. Banyak silly things bisa terjadi jika kita mabuk di konser.
  • Paham bahaya dan konsekuensi jika terjadi kegagalan melakukan moshing, stage diving atau crowd surfing.
  • Segeralah menolong jika ada siapapun terjatuh di mosh pit.
  • Hindari penggunaan aksesoris yang dapat melukai orang di mosh-pit.
  • Kenakan earplug (jika ada).
  • Jangan ikut-ikutan berkomplot untuk menjebol pintu masuk. Tolol!
  • Untuk apa nongkrong di depan pintu masuk? Pastikan tujuan datang ke konser hanya untuk menikmati konser. Nongkronglah di kakus atau tempat nongkrong yang semestinya.

[Wenz Rawk]
Kotak hitam oleh apokaliptika

Penulis adalah editor Rolling Stone Indonesia, personal manager The Upstairs dan founder Brainwashed Entertainment yang sempat meng-organize konser-konser musik underground lokal di Jakarta sejak 1997.

Malang Underground Cover 4 (taken from www.apokalip.com)

Setelah mengalami evolusi penting, scene cadas kota Malang melahirkan lembaran baru yang masih berlangsung dan mungkin tidak akan terputus. Sebuah era yang dimainkan oleh pelaku-pelaku muda dan menjadi intro pertama dari scene, underground, do-it-yourself, gigs, squat, serta segala kata kunci yang pernah digilai saat itu. Sebuah jaman bingung dan konyol bersama pemuda-pemuda yang masih dalam 'fase pencarian'. Egois, ambisius, penuh slogan dan bombastis. Hingga tiba-tiba logo pentagram, simbol X di tangan, lambang anarki, serta rambut pirang dan mohawk lem kayu bertebaran di mana-mana...

Era 1996 - 2000 ; Periode Penggali Tanah

Sepeninggal komunitas Gemma [Generasi Musisi Malang] sekitar tahun 1995, muncul kemudian generasi anyar yang berusia belasan tahun hadir mengisi lembaran kosong aktifitas rock dan metal di Malang. Mereka adalah anak-anak muda yang sebelumnya dibesarkan sebagai penonton, fans atau band peserta festival garapan Gemma. Mereka juga mengaku banyak belajar dari fenomena scene rock lokal selama kurun waktu sebelumnya. "Kita emang mulai kumpul pas nonton acara-acaranya Gemma itu. Kalo ada anak yang pake kaos band sangar atau ada band yang bawain lagu kenceng pasti deh kita samperin dan ajak kenalan," kenang seorang kawan lama mengingat masa-masa awal ketika mereka mulai berkumpul bersama.

Anak-anak muda itulah yang mulai mengenal idiom Underground [istilah dari pers/media bagi gerakan bermusik melalui jalur alternatif yang tidak umum dan tidak lazim] dan Do It Yourself atau D.I.Y [etos kerja yang mandiri atau swadaya]. Dari situ pula mereka mulai tahu yang namanya Scene [lingkungan komunitas yang berdasarkan kesamaan hobi, minat atau idealisme], Gigs [konser kecil] dan Squat [tongkrongan/basis]. Meskipun kadang masih dalam terminologi yang sempit dan membabi-buta. Maklum, istilah-istilah itu masih jadi 'barang baru' bagi mereka.

Spontan mereka coba mempraktekkan nilai-nilai independensi dan etika do-it-yourself dalam bermusik. Mereka mulai membuat jaringan dengan komunitas serupa yang berada di Bandung, Jakarta, Surabaya, Jogja dan Bali. Networking tersebut berhasil terbentuk dari kesamaan latar belakang, selera, trend, visi, pola pikir, serta rentang usia yang tidak jauh beda. Mereka tampak antusias bekerjasama dengan penuh rasa solidaritas dan saling mendukung tanpa ada pengkotak-kotakan. Boleh dibilang mereka adalah anak-anak muda yang mempelopori munculnya sebuah sub-kultur baru di kota Malang. Istilahnya saat itu ; Arek Underground!!!...

Bersamaan dengan evolusi musik cadas, genre-genre metal yang lebih ekstrim dan aktual seperti aliran blackmetal, deathmetal hingga grindcore jadi referensi utama bagi anak muda di jaman itu. Mereka mulai tertantang untuk bermain musik dan membentuk band baru. Lahirlah kemudian band-band dengan nama unik dan cenderung seram seperti Rotten Corpse, Perish, Sekarat, Santhet, Keramat, Genital Giblets, Grindpeace, Peti Mati, Sacrificial Ceremony, Ritual Orchestra dan masih banyak lagi.

Band-band itu awalnya tumbuh dengan memainkan lagu-lagu karya band asing [coversong], sambil sesekali mencoba menulis karya lagu sendiri. Jika ada kesempatan mereka berupaya manggung pada event parade atau festival musik yang mengharuskan setiap band membayar biaya pendaftaran. Tak jarang mereka rela patungan sambil membawa suporter dalam 'misi suci' penyebaran eksistensi serta idealisme musik mereka. Semacam 'show of force' kepada masyarakat lah istilahnya...

Beberapa pertunjukan musik yang merangkum aksi band-band underground lokal pada saat itu antara lain ; Fisheries karya mahasiswa Fakultas Perikanan Unibraw, Independent di kampus ITN, RMC garapan muda-mudi karang taruna di Singosari, serta sejumlah parade musik di GOR Pulosari dan gedung DKM. Satu kawan yang lain ikut bercerita, "Kehadiran kita di konser-konser itu selalu menarik perhatian penonton awam deh pokoknya. Ngeri kali yah mereka, soalnya penampilan kita sangar-sangar, trus selalu maju headbanging pas band-nya anak-anak manggung."

Sebagian dari anak-anak muda itu lalu membidani kelahiran sebuah komunitas underground lokal bernama Total Suffer Community [TSC] - yang embrionya sudah dicetuskan sejak pertengahan tahun 1995. Ide membuat 'klub underground' itu lahir setelah mereka melihat komunitas serupa di luar kota juga memiliki 'identitas' sendiri, seperti misalnya Extreme Noise Grinding [Ujungberung], Bandung Lunatic Underground, Blackmass [Bandung], Jogja Corpsegrinder, Bali Corpsegrinder, atau Independent [Surabaya].

Saat itu, obsesi awal TSC hanya ingin membuat konser underground yang pertama di Malang. Proyek tersebut akhirnya berhasil diwujudkan lewat event bertajuk Parade Musik Underground [PMU] di gedung Sasana Asih YPAC, pada tanggal 28 Juli 1996. PMU sendiri akhirnya sempat jadi serial gigs lokal terbesar hingga mencapai sekuelnya yang ketiga di tahun 1998 dengan mengundang berbagai band cadas dari Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Bali. Bahkan boleh dibilang, PMU merupakan landmark bagi konser-konser underground selanjutnya di Malang.

Kehadiran TSC yang dikepalai oleh Budhy Sarzo itu membuat scene musik cadas di kota Malang makin semarak. Eksistensi mereka mewarnai gaya hidup dan budaya lokal kaum muda. Anak-anak muda yang hampir selalu berkostum item-item itu seringkali terlihat bergerombol di sekitar kantor Kabupaten depan Malang Plaza, Food Center Hero Supermarket, atau di seberang Dieng Plaza pada setiap pekannya. Semacam 'black gathering' atau 'rocks on weekend'?!...

Nongkrong mingguan yang disertai sharing informasi musik itu semakin membuka wawasan mereka tentang berbagai aktifitas di dalam scene underground. Obrolan mereka saat itu tidak jauh dari tema musik cadas, band, konser, sampai pada cara-cara bikin rekaman, fanzine, serta merchandise. Kadang juga diselingi dengan ajang pinjam-meminjam kaset, menyetel video konser asing dalam format VHS, tukar-menukar kaos metal, atau sekedar 'jual-beli' stiker dan foto band.

Dari situ perkembangan musik di kancah lokal mulai berjalan lebih maju. Genre dan selera musik yang mereka terima makin beragam dan variatif. Selain deskripsi rock dan metal, sejumlah aliran musik lain seperti punk, hardcore dan industrial juga mulai mewabah. Makin lama makin banyak yang ikut nongkrong di areal TSC. Uniknya, muncul kemudian 'proses administrasi' bagi semua anggota. Setiap anggota juga didata, dikenai iuran, serta berhak mendapatkan kartu member lengkap dengan nomor induk. Halah?!...

Bertambahnya anggota baru membuat TSC merangkumnya ke dalam divisi-divisi khusus yang didasarkan atas aliran musik. Yah, mirip 'penjurusan' kalau di sekolah, lengkap dengan 'ketua kelas'-nya masing-masing. Hal itu semata-mata untuk mempermudah komunikasi bagi setiap kalangan genre musik yang ada.

Penggemar musik death metal dan grindcore tetap dominan di squat ini. Afril [Extreme Decay] saat itu masih memimpin umat black metal bersama Ipul [Santhet] dan Gayonk [Perish]. Ook [Grindpeace] memang maniak metal tapi menjadi salah pemuja musik noise dan industrial. Kalangan hardcore sepertinya dikomandoi Sandi, Doni, dan Viktor [Primitive Chimpanzee]. Sedangkan punk rock diminati oleh para personil No Man's Land dan arek-arek 'Gang Songo'. Meriah lah pokoknya...

Setiap komunitas genre itu akhirnya membuat squat-nya masing-masing. Mereka juga kerap berkumpul, berbincang dan merancang rencana untuk mengembangkan wawasan musiknya. Banyak cara yang biasa mereka lakukan seperti misalnya merancang gigs atau memesan kaset, CD, majalah musik dan kaos band favorit melalui jalur mail-order ke distributor asing.

Munculnya squat-squat kecil ternyata tidak hanya berdasarkan pada pilihan genre musik saja. Seperti maraknya tawuran geng antar kampung pada jaman itu, tidak lama kemudian muncul juga sejumlah squat yang eksis secara geografis di beberapa wilayah atau daerah penting. Awalnya mungkin anak-anak itu bertetangga, terus punya selera musik yang sama, lalu saling barter kaset, dan sering nongkrong bareng pada akhirnya. Yah, mungkin saatnya underground mulai masuk kampung dan ikut mewarnai rapat pemuda karang taruna. Hah!...

Kampung-kampung beraroma cadas mulai bermunculan di seputar kota. Sebut saja Sumbersari yang identik dengan blackmetal sehingga kerap dijuluki Triple S [Sumbersari Satan Service]. Kemudian anak-anak deathmetal dan grindcore yang bermarkas di sekitar Sanan, Bango, dan Sukun. Daerah Oro-oro Dowo [Gang Songo] dan Kotalama juga dikenal memiliki basis punk dan hardcore yang cukup kuat. Begitu juga wilayah Bareng yang sudah dikenal rock & roll sejak tempo doeloe serta mempunyai variasi genre musik yang beragam. Keberadaan squat semacam ini juga meluas hingga di kampung-kampung lain seperti Selorejo, Ketawang Gede, Dinoyo, Pakis, Singosari, Batu dan sebagainya.

Uniknya, squat yang tumbuh di sejumlah kampung itu justru produktif dan bikin scene kota Malang lebih dinamis. Beberapa di antaranya bahkan mampu membuat gigs-gigs lokal yang penting. Misalnya saja anak-anak kampung Sukun dengan gigs andalannya Chaos Sukun Live, lalu kampung Sanan dan Bango berkolaborasi bikin event musik Krisis, atau arek-arek Selorejo dengan serial gigs Ontrant-Ontrant yang masih aktif sampai sekarang dan sudah empat kali digelar. Belum lagi Pakis Parah, Singosari Bentrok, dan lain-lain.

Pada pertengahan tahun 1996 beberapa anak muda menggagas penerbitan media cetak independen dalam bentuk fanzine. Media itu dimaksudkan untuk menjaring informasi dan komunikasi yang lebih intens di kalangan publik underground. Terbitlah kemudian Mindblast, sebuah fanzine metal yang bertahan tiga edisi sampai tahun 1998. "Fanzine itu lahir dari rasa iri setelah melihat Bandung punya Revograms. Nekat aja dulu coba-coba bikin dengan modal terbatas. Pas Mindblast aktif, di Jakarta ada Brainwashed, trus Jogja juga punya Megaton. Eh, ternyata Mindblast cukup efektif juga untuk mengangkat scene Malang pada saat itu," tutur salah satu editornya.

Media sederhana berformat fotokopian semakin marak dan terus berlanjut dengan kemunculan Imbecile, Escort, Brain To Think Mouth To Speak, Kemerdekaan Zine, Ndeso Zine, serta beberapa fanzine dan newsletter lokal lainnya. Semuanya dijalankan secara ikhlas, mandiri dan swadaya. Sekedar untuk transfer informasi dan proses dokumentasi scene musik cadas. "Meskipun pada akhirnya rugi trus bubar, hehe. Gak masalah kok demi scene tercinta. Biar rame!" ujar sebagian besar anggota redaksinya.

Saat itu peran media radio juga masih aktif men-support komunitas ini. Selain Senaputra, beberapa radio swasta dan eksperimen kampus juga mulai membuka airtime-nya untuk program siaran musik keras. Salah satunya adalah radio Bhiga FM milik unit kegiatan mahasiswa Unmer Malang yang rela menampung demo-demo rekaman lokal dari Malang maupun luar kota. "Jangan malas, apalagi menunggu. Kita sendiri lah yang musti aktif datang ke radio-radio itu sambil bawa kaset-kaset demo band lokal. Kalo perlu ikut siaran!" kata Ook menceritakan pengalamannya dulu ketika bergerilya ke radio-radio untuk promo band.

Sayangnya, scene musik lokal yang sedang menghangat itu sempat mengalami 'tragedi' yang cukup menyesakkan dada. Pada tahun 1997, GOR Pulosari tiba-tiba dibongkar oleh pemerintah daerah dan dikabarkan bakal mengalami renovasi. Namun yang terjadi kemudian venue legendaris itu malah berubah menjadi ruko dan supermarket. Kejadian tidak lama setelah mahasiswa STIEKN Malang menggelar festival musik di sana - yang menampilkan Pas Band, Burgerkill, dan Forgotten dari Bandung, serta sejumlah band lokal seperti Perish dan Sekarat.

Sayang, situs rock lokal yang bernilai sejarah tinggi itu akhirnya tinggal kenangan. Menyedihkan. Alhasil frekuensi pertunjukan musik rock di Malang juga ikut merosot drastis. Proyek peralihan fungsi GOR Pulosari itu bisa dianggap sebagai salah satu dosa terbesar pemerintah daerah terhadap perkembangan seni dan musik di kota Malang. Dengan geram seorang musisi lokal pun berujar, "Root-nya musik rock di Malang itu ya dari Pulosari. Band kayak AKA, Godbless, Elpamas, sampai Slank pun pernah maen di situ. Band-band lokal juga besar dari situ. Sudah layak kalo kita protes trus menuntut pada pemerintah yang bodoh itu!..."

Beruntunglah komunitas underground dibekali etos kerja do-it-yourself yang masih bisa mendukung proses aktualisasi mereka. Mereka masih mampu merancang gigs sendiri meski dalam skala dan venue yang kecil. Buktinya berbagai jenis konser dan gigs yang dikelola secara mandiri mulai digelar di sana-sini. Kebanyakan muncul dengan judul titel acara yang unik, seperti misalnya Konflik, Spektakuler, Brotherhood, Pakis Parah, Expose, MCHC, The Sound of Fury, dan lain sebagainya.

Setelah GOR Pulosari raib, pertunjukan musik keras memang lebih sering memilih aula sekolah atau kampus sebagai venue-nya. Setiap acara biasanya mematok aksi 20 sampai 30 band dengan harga tiket antara 3000 hingga 5000 rupiah. Terkadang pihak panitia juga menyertakan band luar kota yang lumayan populer sebagai bintang tamunya, seperti Hellgods [Bdg], Slowdeath [Sby], Noise Damage [Bdg], Vexation [Bdg], Tympanic Membrane [Bdg], Demonstration Effect [Bali], Eternal Madness [Bali], Trauma [Jkt], Death Vomit [Jogja], dan lain sebagainya.

Kesalahan rocker-rocker generasi lama yang tidak mendokumentasikan karyanya dalam bentuk rekaman juga mulai diperbaiki oleh generasi saat itu. Minimnya sarana studio recording di Malang tidak bikin band lokal ketinggalan dalam proses merekam materi musik mereka. Memperbanyak jam terbang dengan manggung di berbagai daerah menjadi target mereka selanjutnya. Undangan show di luar kota disabet meski dalam budget dana yang minim atau tanpa bayaran sekalipun. Ketika itu berkarya, bikin demo rekaman dan pengalaman pentas adalah tiga hal utama yang ingin dicapai setiap band agar eksistensinya semakin diakui publik.

No Man's Land tercatat sebagai band Malang pertama yang mampu membuat demo dan memasarkannya secara gerilya kepada fans-nya. Keberanian band punk rock itu untuk merilis album Separatist Tendency menjadi sangat fenomenal. Sebab ketika itu nama mereka notabene masih sangat baru dan belum terlalu dikenal publik. Tanpa diduga, Separatist Tendency berhasil terjual laris dari tangan ke tangan dan menjadi salah satu album lokal yang klasik hingga saat ini. "Album itu direkam live selama 15 jam di studio Oase pada bulan Februari 1996. Total kami hanya menghabiskan biaya dua ratus ribu," terang Didit selaku frontman No Man's Land.

Di sektor metal, Rotten Corpse adalah nama band yang paling populer saat itu. Selain sering menjajah panggung lokal, mereka juga sempat diundang manggung di berbagai kota mulai dari Surabaya, Bandung, sampai Jakarta. Nama mereka mulai diakui secara nasional setelah tampil pada sejumlah pentas underground yang fenomenal di jaman itu, seperti Bandung Underground #2 [1996], Total Noise Jakarta [1996], dan Bandung Berisik #2 [1997].

Setelah merilis demo secara independen, Rotten corpse akhirnya rekaman di studio Natural [Surabaya] dan menghasilkan album Maggot Sickness. Rilisan berformat kaset yang diproduksi Graveyard Production itu termasuk sukses untuk skala pasar metal yang sempit. Rekaman tersebut bahkan sempat dirilis ulang oleh sebuah label dari Malaysia untuk pasar distribusi di Asia Tenggara. Kesuksesan Maggot Sickness baik secara kualitas musik maupun reaksi publik untuk sementara ini masih dianggap sebagai patok tertinggi dalam sejarah rilisan album metal lokal dari Malang. Album ini bahkan masuk dalam deretan 20 Album Rock Revolusioner di Indonesia yang dimuat pada majalah MTV Trax2 edisi Agustus 2004.

Sejumlah band lokal yang lain juga mulai aktif dalam proyek rekaman dan panggung. Contohnya Sekarat berhasil merilis dua album independen, serta sempat manggung di Bali, Sidoarjo dan Surabaya. Kemudian Perish dengan debut album From The Rising Dawn yang penjualannya mencapai sold-out. Gayonk dkk bahkan sempat menjadi nama yang fenomenal bagi scene black metal di negeri ini. Mereka diundang tampil di Jogja, Bandung, Jakarta, hingga Denpasar. Nasib baik juga dialami Ritual Orchestra yang show-nya merambah hingga ke luar Jawa dan albumnya laris manis hingga di pasaran internasional.

Kemunculan label-label rekaman lokal seperti Confuse Records, Bittersounds, Raw Tape, atau Youth Frontline membuat scene kota Malang makin bergairah. Beberapa rekaman band lokal yang sempat beredar pada jaman itu antara lain ; Keramat "Approximate Death", Bangkai "For What?!", Extreme Decay "Bastard", Mystical "Sawan Bajang", HorridTruth/Boisterous "Split", Antiphaty "W.A.R", No Man's Land "Punk Rock & Art-School Drop Outs", Don't Regret "Violence Cause", Stolen Vision "They Makes Me Stronger", The Babies "Malang City Punk Rocker", dan masih banyak lagi.

"Gila, sampai orang-orang di kota lain juga pada heran. Banyak banget yah rilisan dari band-band Malang?!" ungkap sorang kawan menyatakan kekagumannya. Ini tidak lepas dari peran Ook yang saat itu mengelola Confuse Records dan sering merilis berbagai demo lokal untuk dipasarkan ke penjuru nusantara. Bayangkan satu etalase atau satu lapak pun bisa penuh hanya dengan stok demo-demo rekaman lokal Malang. Usaha sablon dan merchandise juga ikut berkembang mewarnai scene ini. Tiap band mulai memproduksi kaos, emblem, pin, atau stiker. Gus Dinn dan Ook lalu mempelopori munculnya distro pertama di Malang yaitu Abstract, yang kemudian berubah nama jadi Smash Shop.

Setelah mengoyak pasar nasional, giliran band lokal coba merambah pasar internasional. Mereka mulai melakukan kerjasama bilateral dengan jaringan label atau band di luar negeri melalui koresponden [ya, surat-menyurat via pos!]. Usaha tersebut ternyata cukup menuai hasil. Beberapa band sempat dikontrak label asing dan rilisannya dipasarkan sampai ke mancanegara. Upaya tersebut termasuk brilian dan patut dibanggakan. Setidaknya mereka turut mengharumkan nama Indonesia di peta scene underground internasional.

Extreme Decay adalah salah satu contoh band yang aktif dalam berbagai proyek kompilasi dan split-tape internasional. Mereka pernah bekerjasama dengan grupband Agathocles [Belgia], Demisor [S'pore], dan Parkinson [S'pore], serta berbagai label distribusi di Eropa dan Amerika. No Man's Land juga sempat merilis split-tape dengan Karatz [M'sia] yang didistribusikan di asia tenggara. Antiphaty, Ritual Orchestra dan Perish juga pernah merasakan nasib serupa dalam proyek kompilasi internasional.

Jika indikasinya adalah berkarya, maka selama rentang tahun 1996 - 2000 boleh disebut sebagai masa paling produktif bagi scene underground Malang. Banyaknya karya rekaman lokal yang disertai dengan rutinitas gigs, eksistensi media serta label independen menjadi bukti nyata produktifitas mereka. Sungguh fenomena yang aneh dan membanggakan. Mengingat cukup banyak keterbatasan yang ada pada jaman itu. Namun mereka tetap bisa berjalan dengan cap ganjil dari para orang tua dan masyarakat awam. Tanpa dukungan dari pihak korporat atau industri mayor. Nyaris tanpa ekspos media, apalagi internet belum populer. Ditambah juga sarana dan referensi yang sangat minim. Namun toh anak-anak muda itu mampu bekerja secara mandiri dan aktif memanfaatkan jaringan untuk menghasilkan karya yang maksimal. Sejak era ini pula scene kota Malang mulai dianggap sebagai salah satu basis underground yang cukup aktif, penting dan disegani oleh publik nasional. And they can makes their own history...

[Samack]
Foto dan gambar oleh Boris [dok.Mindblast] & netz.

Esai ini adalah bagian dari proyek dokumentasi scene rock MLG oleh Solidrock. Artikel berikutnya [era 2000-an] bakal mengupas invasi industri, arus tehnologi dan globalisasi, serta evolusi yang terjadi pada scene cadas kota Malang. Ketika reklame, fashion, distro, mp3, serta internet mulai menjadi panglima. Dan ucapkan selamat datang pada generasi rock milenium ketiga!...

Malang Underground Cover 3 (taken from www.apokalip.com)

Era '90-an sering disebut sebagai masa terbaik dan 'golden ages' dalam scene rock & roll di manapun. Sekaligus merupakan dekade yang paling kejam serta membingungkan. Lahirnya berbagai [sub]genre rock hingga yang paling bungsu sekalipun. Serbuan arus tehnologi dan informasi hiburan. Invasi media, MTV dan benih internet. Serta transisi wacana dan 'pembaptisan' sebuah generasi baru. Berikut separuh dekade pertama dari scene rock kota Malang!...

Periode Pemotong Rumput [1990 - 1995]

Memasuki era 90-an, musik rock digeber lebih ekstrim ketika berbagai tipe musik metal seperti heavymetal, speedmetal maupun thrashmetal dipuja-puja oleh kawula muda kota Malang. Metallica, Megadeth, Kreator, Slayer, Sepultura, Testament, Anthrax, Iron Maiden, Overkill sampai Helloween sudah bagaikan 'pahlawan' dan 'orang tua' baru bagi mereka.

Denyut nadi band-band lokal masih berdetak dengan maraknya ajang parade dan festival musik lokal yang dipelopori komunitas Generasi Musisi Malang [Gemma]. Musik keras selalu jadi sajian utama, yang bahkan mampu merambah pentas-pentas umum di sekolah dan kampus. Agak berbeda dengan kondisi sekarang, di mana acara musik malah dipenuhi oleh band-band yang 'so-called-indie' atau band top-40.

Di awal era 90-an, ada sejumlah band lokal yang cukup 'happening'. Dye Maker [into Kreator] atau Gusar [into old Sepultura] dikenal gagah dan sering jadi headliner di setiap pentasnya. Lalu ada Mayhem [into Kreator/Necrodeath] yang dalam aksi panggungnya kerap memanggil arwah Micky Jaguar sambil meminum darah kelinci. Darkness, yang hampir selalu mengkover lagu andalan She's Gone [Stellheart] mencuri perhatian lewat atraksi sang gitaris yang selalu memainkan gitar pakai gigi pada sesi solonya.

Kemudian Nevermind yang doyan mengusung lagu kover dari Metallica, di mana Ravi [sekarang gitaris Extreme Decay & Berry Prima] masih main drum di band ini. Sementara Primitive Symphony sudah menjajal musik cepat dan intens ala Napalm Death dan Brutal Truth. Beberapa nama lain seperti Epitaph, Abstain, Megatrue, Resek, atau Orchestration Foolish juga cukup aktif dalam pentas dan sudah mulai menulis lagu sendiri, meskipun tidak semuanya berhasil direkam menjadi demo.

Aktifitas dan gaya hidup arek-arek penggila musik cadas juga mulai tampak di setiap akhir pekannya. Mereka kerap nongkrong di areal lapak kaset bajakan serta stand lukisan foto amatir di deretan toko buku Siswa, daerah alun-alun kota Malang. Dandanan mereka cukup khas dan mudah dikenali. Rambut gondrong, kaos hitam, jins ketat dan sepatu kets yang dipadu dengan asesoris kalung, anting atau gelang metal. Rawkz!

Di jaman scene musik lokal yang belum mengenal distro apalagi merchandise band, anak-anak muda itu sudah mulai menggemari fashion rock/metal. Kaos-kaos bergambar band pujaan menjadi kostum wajib untuk nonton konser atau sekedang nongkrong bareng. Tetapi saat itu bukanlah produk impor seperti halnya yang dipakai anak-anak sekarang. Mereka biasanya membeli produk domestik dari Bandung, Surabaya atau Jakarta. Tidak peduli kaos band bermerek C59, HR Prod, atau More Shop asalkan berdesain band favorit pasti dilahap!...

Tapi ada yang menarik ketika beberapa orang merasa kurang puas dengan kaos-kaos band yang ada di pasaran. Kaos impor mungkin terlalu mahal bagi mereka yang notabene masih pelajar, mahasiswa atau pengangguran. Pembelian via mail-order pun masih asing di telinga mereka. Sebagai alternatifnya, mereka bikin kaos sendiri cara dilukis [bukan disablon!]. Nama kakak beradik, Tanto dan Dwi, saat itu dikenal sebagai seniman muda berbakat yang sering menerima order melukis kaos band. Konsumen bisa memilih sendiri model desainnya sesuai keinginan, pasti ekslusif dan cuma dibikin satu biji. Jangan heran kalau dulu ada kaos Dismember, Disharmonic Orchestra, Pestilence, Pungent Stench, Messiah, atau Greenday dengan gambar disain yang tidak umum, bahkan janggal dan gak masuk akal!...

Saat itu rekaman album rock dan metal asing terbilang cukup banyak beredar di pasaran Indonesia. Untuk yang satu ini, kita musti berterima kasih pada perusahan distributor Indo Semar Sakti, dengan label stiker 'trash'-nya di box kaset. Sedangkan untuk rekaman-rekaman klasik yang terbilang langka dan tidak dirilis di Indonesia kita terpaksa harus mempercayakan kepada produser kaset bajakan. Tidak seperti sekarang yang lebih mudah karena bisa order langsung atau download via internet.

Bicara soal kaset bajakan, dulu hanya dengan uang tiga ribu perak arek Malang sudah bisa membawa pulang rekaman-rekaman klasik seperti Napalm Death Scum, Kreator Pleasure To Kill, AMQA Mutant Cats From Hell, D.R.I Crossover, atau Death Scream Bloody Gore. Hampir semuanya adalah bajakan dari label VSP Malaysia, dengan kover selembar foto reproan [tanpa sleeve apalagi lirik!] serta kualitas rekaman yang tidak terlalu bagus.

Informasi aktual tentang musik cadas juga hanya bisa mereka penuhi lewat media-media tradisional [sekali lagi, belum ada internet saat itu!]. Salah satu media yang cukup terbuka dan ikut mendukung progres musik rock saat itu adalah radio Senaputra. Stasiun radio yang ber-frekuensi AM itu hampir setiap hari memutar lagu dan informasi seputar musik keras.

Pada jam-jam siaran yang bising itulah Senaputra kerap ditongkrongi oleh anak-anak muda. Mereka datang membawa kaset rekaman, me-request lagu, dan tiba-tiba memasang marga 'Cavalera' atau 'Petrozza' di belakang namanya. Cukup klasik, unik dan lucu. Nama-nama udara seperti Antok Schenker, Budi Sarzo, Ivan Petrozza, Johan Cavalera, Andri Teaz, Ujik Obituary, Adin Murmur, Tepi Sepultura, atau Momon Ventor menjadi akrab di telinga pendengar setia radio tersebut.

Di balik meja studio siaran Senaputra, sosok Ovan Tobing adalah nama paten yang mengasuh setiap program musik keras di radio itu. Beliau dikenal memiliki figur dan wibawa yang kuat di kalangan publik rock kota Malang. Pria yang akrab dipanggil Bung Ovan ini juga spesialis MC untuk beberapa konser rock penting di Jawa Timur, seperti pada serial Festival Rock Log Zhelebour, Sepultura [1992], sampai Helloween [2004].

Pamor Senaputra sebagai radio yang konsen pada musik rock memang cukup melegenda. Mungkin sama halnya dengan radio Mustang [Jkt] atau GMR [Bdg]. Sejumlah musisi mulai dari Godbless, Elpamas, Power Metal, Nicky Astria, hingga Rotor dan Tengkorak pernah menyempatkan berkunjung ke radio tersebut dalam rangka promo maupun wawancara on-air. Dan belum lama ini, Burgerkill serta Seringai masih sempat diundang talkshow di Senaputra.

"Wah, ini pertama kalinya kita diwawancarai ama radio frekuensi AM. Salut, masih ada juga ternyata," komentar Ebenz [gitaris Burgerkill] heran ketika diundang talkshow di Senaputra, Juli 2006 lalu. "Malah radio ini yang pertama kali dapet dan muterin rekaman lengkap materi album baru Beyond Coma and Despair yang justru belum kami rilis!" Sadisnya, Senaputra juga jadi stasiun radio terakhir yang sempat mewawancarai mendiang vokalis Burgerkill, Ivan Scumbag, sebelum meninggal dunia tiga pekan kemudian. Ugh!

Hingga sekarang, program musik keras di radio yang dikenal memiliki koleksi lagu-lagu rock yang lumayan langka dan klasik ini masih terus berlanjut. Gaya siaran yang unik, 'old school' dan berkarakter 'Arema' masih dipertahankan oleh stasiun radio yang sejak awal 2007 sudah berpindah gelombang ke frekuensi FM itu. Selain Senaputra, pada saat itu juga ada beberapa radio eksperimen yang beroperasi secara gelap dan amatir, serta kerap memutar lagu-lagu cadas meski dalam jadwal siaran yang tidak teratur.

Berbagai pertunjukan musik rock tetap membahana di kota Malang. Selain festival musik yang hanya diisi band-band lokal, beberapa pertunjukan skala besar juga masih menghebohkan. Kota Malang tetap diserbu aksi musisi rock sekelas Slank, Elpamas, Dewa, Power Metal, Mel Shandy hingga rocker-rocker regional macam Andromeda, Red Spider atau Kamikaze.

Salah satu momen rock terpenting di Jawa Timur, khususnya bagi para metalhead, adalah konser Sepultura di stadion Tambaksari, Surabaya [1992]. Band asal Brasil itu datang di waktu yang tepat, saat masyarakat sedang demam thrashmetal dan Sepultura adalah favorit bagi banyak anak muda. Ribuan arek metal Malang berangkat menuju Surabaya, dan bergabung bersama puluhan ribu penonton menyaksikan event garapan Log Zhelebour Production yang juga menampilkan Mel Shandy dan Power Metal sebagai opening act tersebut.

Memasuki era pertengahan 90-an, komunitas Gemma mulai mengalami konflik internal dan tidak terlalu aktif lagi. Imbasnya, sebagian besar band angkatan awal seperti kehilangan motor penggerak semenjak Gemma non-eksis. Dye Maker dan Mayhem perlahan hilang tanpa kabar. Gusar juga bubar dan hanya menyisakan sebuah rekaman demo latihan studio [rehearsal]. Selebihnya band-band yang lain memilih untuk tidak aktif, vakum, atau membubarkan diri tanpa menghasilkan karya apapun. Sayang, setelah sekian lama menggemakan musik keras, tampaknya revolusi band-band 'Angkatan Gemma' musti berakhir di sini. Menyedihkan...

Kemudian lahir satu kondisi yang menarik pada peta musik cadas kota Malang. Ini mirip seperti slogan 'destroy, erase, improve'. Seakan-akan ada reinkarnasi penting dari sisa-sisa generasi sebelumnya. Beberapa musisi berusia muda nekat 'menghancurkan' euforia masa lalu. Mereka mengumpulkan kekuatan kembali dan hadir dalam wacana serta selera yang lebih anyar. Anak-anak muda itu punya satu visi yang lalu dituangkan dalam gerakan bermusik, bikin band baru, serta merancang konsep musik yang lebih aktual.

Seperti personil Orchestration Foolish yang bikin band baru dengan musik yang lebih brutal lagi dengan nama Rotten Corpse. Primitive Symphony memilih ber-transformasi menjadi Bangkai serta memantapkan diri di jalur grindcore yang ngebut ala Napalm Death atau Brutal Truth. Lalu Abstain yang membubarkan diri dan merancang band deathmetal, Malignant Covenant, yang kemudian bernama Sekarat. Sejumlah band baru juga lahir, seperti misalnya Genital Giblets [eks Brutality], UGD, Kurusetra, Clinic Death, Syaitan, dan masih banyak lagi.

Informasi musik makin berkembang dan variatif melalui invasi media radio, majalah Hai, atau MTV. Arek-arek Malang juga mulai mengenal variasi [sub]genre yang lain. Hal ini dibuktikan lewat eksistensi band-band baru seperti Grindpeace [industrial-metal], Ritual Orchestra [blackmetal], No Man's Land [punk], Ingus [punk/HC], Santhet [blackmetal], Obnoxious [punk], dan masih banyak lagi.

Anak-anak muda inilah yang kemudian banyak mengisi halaman musik cadas lokal sejak sekitar tahun 1994. Mereka notabene masih berstatus pelajar atau mahasiswa tingkat awal dan justru lebih aktif serta dominan dalam aktifitas scene musik lokal. Tak heran kalau pertunjukan musik [parade/festival] saat itu lebih banyak digelar di wilayah kampus atau sekolah. Parade musik Fisheries di Unibraw dan Independent di kampus ITN adalah serial music-fest yang cukup populer, serta selalu menampilkan aksi band-band beraliran cadas.

Separuh dekade pertama '90-an menjadi masa transisi bagi para pelaku aktifitas scene musik di Malang. Sekilas tampak seperti kembali ke titik nol dan menjadi sebuah pengulangan sejarah. Sejak satu generasi sudah melupakan mimpinya menjadi rockstar dan musti kembali pada kehidupan nyata seperti bekerja atau berkeluarga. Hingga akhirnya satu tunas baru lahir dan nekat menciptakan 'dunianya' sendiri. Mereka adalah anak-anak muda yang dulu hanyalah segerombolan penonton yang duduk diam di tribun. Mereka mulai berani tampil di front depan membawa wacana dan pola pikir bermusik yang jauh berbeda dari sebelumnya. Ya, generasi telah berganti dan komando telah diambil alih...

[Samack]
Foto dan gambar diambil dari netz

Esai ini adalah bagian dari proyek dokumentasi scene rock MLG oleh Solidrock. Artikel berikutnya [1995-2000] merupakan intro pertama dari scene, underground, metal, punk, hardcore, do-it-yourself, gigs, squat, serta segala kata kunci yang sangat kamu gilai saat ini. Dan rasanya sebagian orang akan mulai terharu serta menitikkan air mata...

Malang Underground Cover 2 (taken from www.apokalip.com)

Sekarang kita menuju pada iklim panas kota Malang di tahun 80-an. Ketika rock & roll masih sanggup 'menampar' keras fenomena disko dan new wave. Bahkan musik rock mulai terdengar lebih heavy dan ekstrim. Berikut catatan singkat dan sekilas pandang tentang progresi budaya serta komunitas musik cadas dari bumi arema...

Periode Pemukul Batu & Logam [1980-an]
Memasuki dekade delapanpuluhan, embrio band-band lokal lebih banyak dimunculkan oleh kaum pelajar serta mahasiswa di wilayah sekolah dan kampus. Salah satunya adalah Bhawikarsu yang didirikan oleh para pelajar SMAN 3 Malang. Kelompok musik beraliran jazz-rock yang dipelopori Wiwie GV itu bahkan jadi semacam home-band di sekolah tersebut. Wiwie GV kemudian membentuk Gank Voice bersama Wahyu [vokal], yang juga dibantu oleh sejumlah musisi berbakat, termasuk gitaris Totok Tewel [Elpamas].

Saat itu, Gank Voice termasuk kelompok yang cukup populer di Malang. Mereka sering diundang tampil dalam berbagai pentas musik dan festival band hingga ke luar kota. "Jaman dulu kita udah pernah diundang manggung ke Kalimantan, dikasih tiket pesawat dan dibayar tiga juta!" ungkap Wahyu GV. Konon Gank Voice juga sempat ditawari kontrak rekaman dan promo tur oleh Loggis records. Sayangnya kesempatan langka tersebut tidak diambil karena mereka memilih untuk menyelesaikan bangku kuliah terlebih dahulu. Band ini kemudian bubar di tengah jalan, dan ber-transformasi menjadi Arema Voice, band yang menciptakan lagu anthem Singa Bola untuk kesebelasan Arema.

Sementara itu dengung musik rock semakin keras, dan metal mulai mewabah. Band-band anyar yang beraliran hardrock, heavymetal ataupun speedmetal mulai bermunculan. Band asing seperti Van Halen, Judas Priest, Iron Maiden, Anthrax, Metallica, Motley Crue, atau Helloween jadi favorit dan pengaruh penting di kalangan anak muda. Hampir semua remaja di Malang hanya punya dua pilihan sederhana; suka musik rock, atau tidak suka musik sama sekali!

GOR Pulosari masih tetap jadi artefak penting dalam hikayat rock & roll lokal. Tak kurang dari Ikang Fawzi, Power Metal, Gito Rollies, Deddy Stanzah, Iwan Fals, Nicky Astria, Ita Purnamasari, Slank, hingga Dewa 19 sempat merasakan sakralnya venue tersebut. Dewa 19 dan Slank tercatat beberapa kali manggung di sana dan tidak pernah sukses. Bahkan Ita Purnamasari dan Nicky Astria pernah pulang menangis setelah menjalani 'show yang kejam' di venue itu. Bukti bahwa 'keangkeran' Pulosari masih tetap langgeng...

"Jaman dulu, konser rock itu sangat jarang sehingga selalu jadi momen spesial dan tidak boleh dilewatkan," kenang Bang Jun, seorang veteran penggila musik rock. "Jauh sebelum hari H-nya, semua orang mulai dari musisi sampai fans udah siap-siap dandan pol ala rockstar idola. Biasanya mereka meniru foto-foto atau poster yang ada di majalah Aktuil. Sampai-sampai mereka datang sendiri ke penjahit sambil membawa poster dan bilang kalo mo mesen pakaian seperti yang dipake David Bowie, Alice Cooper, atau Mick Jagger!'

Pada hari pertunjukan, ratusan penonton dengan dandanan hebohnya mulai berduyun-duyun berjalan kaki menuju venue. Mereka langsung mengantri di loket tiket maupun di pintu masuk dengan gemuruh ala penonton sepakbola. Sesampainya di dalam venue, anak-anak muda itu langsung serius menyimak panggung, bersenang-senang, dan siap 'mengadili' performance setiap band yang tampil di situ. Kejam!

Menjelang akhir dekade '80-an, terjadi perkembangan yang signifikan pada peta musik cadas kota Malang. Gemma [Generasi Musisi Muda Malang] muncul sebagai komunitas yang aktif menggelar pertunjukan musik lokal di kota ini. Selain GOR Pulosari, gedung DKM [Dewan Kesenian Malang] di daerah Comboran ikut menjadi alternatif venue yang lain.

Salah satu momen rock yang jadi highlight pada jaman itu adalah serial festival rock yang dimotori oleh promotor eksentrik dari Surabaya, Log Zhelebour. Event itu hampir selalu menempatkan Malang sebagai salah satu kota tempat pertunjukan yang penting. Ajang festival tersebut turut mendongkrak nama grupband lokal, Balance, yang masuk dalam album kompilasi 10 Finalis Rock Festival V produksi Loggis Records [1989].

Sedangkan pertunjukan rock yang paling legendaris adalah konser Godbless dalam rangka tur album Raksasa di Stadion Gajayana [1989]. Show tersebut cukup akbar, megah dan terbilang sukses. Puluhan ribu penonton memenuhi arena rumput dan disuguhi sound system berkekuatan besar - yang bahkan menurut masyarakat sayup-sayup masih terdengar di setiap sudut kota Malang.

Pada putaran generasi band lokal, muncul nama-nama baru seperti Dye Maker, Mayhem, atau Gusar. Ketika itu mereka masih sibuk di studio latihan, menyanyikan lagu-lagu kover, dan manggung di pentas-pentas festival. Bagi kebanyakan band, main musik pada jaman itu memang hanya sebagai hobi pengisi waktu luang semata. Mereka masih memilih untuk memainkan lagu-lagu favorit dari band asing, serta belum terpikir untuk serius berkarir di bidang musik. Setelah beberapa kali latihan dan merasa kompak, mereka biasanya segera mendaftar untuk ikut festival atau pentas musik lokal yang memang sangat marak saat itu.

Di jaman pra-MTV itu, musik rock dan metal sudah mulai mendapatkan ekspos yang 'memukul' di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia, tak terkecuali di Malang. Setiap kejadian dan berita musik juga terpublikasikan dengan baik. Media massa bahkan sempat mengklaim kota Surabaya dan Malang sebagai barometer musik rock di tanah air. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada peran seorang Log Zhelebour dan proyek-proyeknya sebagai motif utama di balik klaim tersebut - di samping tentunya pertumbuhan band lokal beraliran keras yang kian menjamur, serta antusiasme crowd lokal yang dikenal cukup 'buas'.

Sekali lagi terbukti, musik cadas tetap menampakkan taringnya di dekade yang penuh warna-warni ini. Sayangnya kejadian-kejadian rock di jaman itu tidak terdokumentasikan dengan baik. Sehingga cukup sulit untuk sekedar mencari selembar foto, apalagi rekaman audio atau video. Namun dari 'dongeng para veteran' bisa disimpulkan bahwa gembar-gembor era 80-an sebagai jaman disko/new wave nyaris tidak terasa di kota Malang. Yang berlaku saat itu justru musik rock tetap menjadi raja, dan heavy metal adalah panglima!...

[Samack]
Foto & gambar diambil dari netz & dok Solidrock.

Tulisan ini adalah bagian dari proyek dokumentasi scene rock Malang yang dikerjakan oleh Solidrock. Artikel selanjutnya [era awal 1990-an] akan dimuat kemudian. Wait and bleed...

Malang Underground Cover 1 (taken from www.apokalip.com

Benarkah kota Malang sudah rock & roll sejak tempo doeloe? Seperti apa iklim scene musik dan komunitas penggemar musik keras di wilayah lokal pada jaman baheula? Siapa saja pionir yang bertanggungjawab atas 'kecadasan' di kota dingin ini? Ini catatan historis tentang perkembangan budaya musik cadas dan komunitasnya di kota Malang. Halaman pertama dari peradaban lokal seni musik dan revolusi rock & roll yang masih terus bekerja...

Periode Pemecah Es [1970-an]

Sebenarnya benih-benih rock & roll di kota Malang sudah muncul sejak awal era '60-an, ketika bocah berusia sebelas tahun, Abadi Soesman, untuk pertama kalinya membentuk grupband bernama Irama Abadi, 1 April 1960. Masyarakat dunia saat itu sedang dihinggapi wabah musik rock & roll yang dipelopori oleh Elvis Prestley, Chuck Berry, dan The Beatles. Trend tersebut menyeberang ke Indonesia dan ikut meracuni selera anak-anak muda negeri ini.

Namun seperti yang kita ketahui, memainkan musik rock pada era orde lama masih dianggap tabu. Bentuk kesenian yang kebarat-baratan sangat dibatasi geraknya. Para musisi dan seniman otomatis susah berkembang serta makin terpojokkan. Rezim pemerintah terus mendorong masyarakat untuk menjauhi musik rock. The Beatles dilarang, bahkan Koes Plus dipenjara. Rambut panjang diharamkan, dan musik rock disebut 'musik setan'.

Anak-anak muda yang berniat untuk main musik dicap tidak punya masa depan. Mereka hampir selalu dilecehkan oleh para generasi tua, terutama calon mertua. "Dulu, pemusik adalah derajat paling rendah, dan sedikit naik tingkat setelah heboh narkoba," ungkap Abadi Soesman ketika diwawancarai Kompas, November 2006 lalu.

Malang hanyalah kota kecil yang jauh dari gemerlap industri musik seperti halnya Jakarta. Banyak remaja yang ingin sekedar main band, namun terganjal pada sarana alat musik yang mahal dan terbatas. Beberapa grup musik baru bisa berlatih dan manggung setelah didanai oleh perusahaan besar. Sebut saja nama Bentoel band atau Oepet band, yang disponsori pabrik rokok terbesar di Malang. Sejumlah band lainnya seperti Zodiak, Panca Nada, Arulan, atau Swita Rama, rata-rata juga milik perusahaan tertentu. Iklim bermusik seperti itu dirasa cukup menyedihkan serta kurang menjanjikan bagi para musisi lokal.

Selera kuping arek-arek Malang pada jaman dulu tidak pernah bergeser jauh dari genre musik keras - mulai dari yang bernuansa hardrock, slowrock, folk-rock, art-rock atau psychedelic rock sekalipun. Komposisi musik seperti yang dimainkan Led Zeppelin, Genesis, Rolling Stones, Janis Joplin, The Doors, Uriah Heep, Yes, Deep Purple, Rainbow, Pink Floyd, Rush, atau Queen adalah beberapa nama paten yang sangat digilai anak muda Malang.

"Dulu semua band di Malang memang rock. Saya dan Ian Antono punya filosofi yang sama, dan kami bersatu karena musik rock," tutur Abadi Soesman seraya menyebut nama salah satu legenda musik rock kelahiran Malang yang paling terkenal hingga sekarang.

Ian Antono lahir di Malang, 29 Oktober 1950, dengan nama asli Yusuf Antono Djojo. Sewaktu kecil ia sempat memegang instrumen ketipung dalam suatu band bocah beraliran melayu. Ian yang saat itu menyukai lagu-lagu dari The Shadows atau The Ventures, kemudian memperkuat band keluarga Zodiacs bersama kakak-kakaknya.

Pada tahun 1969, Ian hijrah ke Jakarta bersama Abadi Soesman dan bermain musik di Hotel Marcopolo. Dua tahun kemudian ia kembali ke Malang untuk bergabung dengan band Bentoel sebagai pemain drum, yang lalu beralih ke gitar. Saat itu ia mengaku terpengaruh oleh Deep Purple, Alice Cooper, Jethro Tull, Edgar Winter, dan James Gang - serta meniru segala gaya mereka mulai dari penampilan fisik, kostum, aksi panggung, bahkan sampai ke cara bermusiknya.

Bentoel kemudian menjadi salah satu kelompok musik rock yang paling populer di kota Malang. Barisan yang dimotori vokalis Micky Jaguar dan drummer Ian Antono itu terkenal eksentrik dan selalu penuh kejutan. Pada tahun 1972, mereka diundang tampil membuka konser Victor Wood di Gelora Pancasila, Surabaya. Dalam kesempatan tersebut, Micky Jaguar melakukan atraksi panggung yang sensasional. Sembari menyanyikan lagu John Barlecon [Traffic], ia menyembelih seekor kelinci dan meminum darahnya. Gara-gara atraksinya itu, ia terpaksa berurusan dengan pihak berwajib.

Sayangnya Bentoel tidak berumur panjang dan tidak sempat merekam apa-apa. Pada tahun 1974, Ian Antono diminta Ahmad Albar untuk kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Godbless. Di kelompok itu, Ian mulai coba-coba menulis lagu dan menata musik untuk album Huma di Atas Bukit [1976]. Baginya, ada semacam proses transformasi dari sekadar bermain menuju ke tahap penciptaan. Hingga kemudian nama Ian Antono juga dikenal sebagai penulis lagu dan penata musik untuk sekitar 400-an lagu yang dimainkan Godbless, Duo Kribo, Ucok Harahap, Nicky Astria, Iwan Fals, Anggun Cipta Sasmi, hingga Grace Simon.

Sementara itu, bubarnya Bentoel memaksa vokalis Micky Jaguar bergabung dalam Ogle Eyes, grup musik yang juga diperkuat oleh mantan personil Giant Step [Bandung], keyboardist Jocky Soerjoprayogo dan drummer Sammy Zakaria. Ia juga sempat memulai karir solonya dengan merekam album bertitel Metropolitan [Prawita records]. Pada rilisan tersebut, ia berduet dengan Sylvia Saartje di lagu yang berjudul Wanita. Saat ini, kaset solo Micky Jaguar menjadi barang langka dan collector item yang bernilai tinggi.

Nama sang ladyrocker, Silvia Saartje, tentu cukup populer bagi penggemar musik rock lokal. Penyanyi rock kelahiran Arnheim [Belanda] yang bermukim di Malang ini sempat tenar lewat singel Biarawati ciptaan Ian Antono. Di kala manggung, perempuan ini selalu memakai kostum yang agak seronok dan menghebohkan. Salah satu pentasnya yang paling diingat publik Malang adalah ketika membantu Elpamas dalam mengkover lagu Pink Floyd yang terkenal sangat rumit, The Great Gig In The Sky. Selama karirnya, Sylvia Saartje telah menelurkan tujuh buah rekaman. Ia juga sempat tampil sebagai penyanyi dalam film Kodrat garapan Slamet Raharjo. Beberapa tahun terakhir ini, namanya terkadang masih mondar-mandir mengisi program musik rock dan blues di sebuah stasiun televisi.

Selama era '70-an, beberapa musisi lokal mulai terpikir untuk hijrah ke ibukota. "Dulu, Jakarta itu seperti luar negeri," kenang Abadi Soesman. Sebagai pusat industri, Jakarta memang menarik dan lebih terbuka bagi peluang karir di bidang musik. Mitos klasik bahwa musisi daerah kalau ingin sukses musti hijrah ke ibukota memang tidak bisa dipungkiri, dan hampir benar adanya. Sentralisasi industri musik nasional malah cenderung melanggengkan keabsahan rumus yang terkadang masih berlaku hingga sekarang itu.

Sementara evolusi rock & roll di kota Malang terus berjalan. Band-band baru bermunculan dari berbagai ajang festival dan parade musik lokal. Aksi mereka juga selaras dengan kebiasaan band rock nasional generasi awal - seperti Cockpit [Jakarta], Trencem [Solo] Godbless [Jakarta], Giant Step [Bandung] atau AKA/SAS [Surabaya] - yang lebih sering membawakan karya lagu musisi luar dan cenderung malas menulis lagu sendiri. Makanya hanya sedikit sekali rekaman album bahkan sekedar demo yang dirilis pada jaman itu.

Selera pasar dan kebiasaan musisi yang terlalu 'memuja band asing' itu akhirnya memberi imbas di setiap pertunjukan musik. Penonton hampir selalu menuntut band yang tampil di panggung untuk bermain 'persis kaset' istilahnya. Mereka hanya ingin mendengar lagu favoritnya dan tidak peduli pada lagu ciptaan musisi lokal. Akibatnya, hanya sedikit band yang mau menulis dan mengusung karya ciptaannya sendiri. Selebihnya tidak ada jalan lain kecuali tampil sempurna membawakan lagu kover yang jadi favorit penonton.

Kondisi di atas membuat sejumlah band lokal menjadi band spesialis yang identik dengan band asing panutannya. Misalkan saja Micky Jaguar layaknya seorang Mick Jagger dengan gaya urakan ala Ozzy Osbourne. Bahkan Sylvia Saartje sempat dianggap titisannya Jonis Joplin. Hingga musisi yang lebih yunior macam Elpamas yang hanya akan mendapat aplaus jika membawakan komposisi dari Pink Floyd.

"Wah, sejak dulu Malang itu kota yang paling ditakuti ama band-band Jakarta. Penontonnya kritis, salah dikit aja langsung ditimpukin!" ujar Jaya, gitaris grupband Roxx yang sempat ditemui penulis saat event Soundrenaline 2004 di Stadion Gajayana Malang. "Malah dulu belum layak disebut rocker kalo belum pernah konser di Malang. Emang terbukti, aura rock-nya masih terasa banget sampe sekarang!"

Sudah banyak kisah musisi rock lokal maupun nasional yang coba 'menaklukan' hati dan telinga penonton Malang yang terkenal agak liar dan suka rusuh. Sebagian memang cukup berhasil, namun lebih banyak di antaranya yang gagal total. Band yang tidak mampu memuaskan penonton akan sangat beruntung jika hanya mendapat cemooh dan caci-maki saja. Sebagian malah bernasib lebih buruk, menerima lemparan benda-benda aneh dari penonton dan dipaksa turun dari panggung.

Sejak era '70-an, tempat pertunjukan [venue] yang sering dipakai ajang konser rock adalah GOR Pulosari yang terletak di bilangan jalan Kawi. Desain arsitektur gedung tersebut cukup unik dan sangat 'bawah tanah' sekali. Venue itu dibangun pada cerukan tanah yang dalam, serta dikelilingi tribun kayu yang mengelilingi panggung besar di bawahnya. Konstruksi seperti itu menjadikan GOR Pulosari sebagai hall yang kedap suara, serta dianggap memiliki akustik yang cemerlang untuk sebuah pertunjukan musik. Sejumlah nama mulai dari Panbers, Trencem, Bentoel, Cockpit, Sylvia Saartje, hingga Godbless sudah pernah menjajal GOR Pulosari yang dikenal sangat prestisius untuk konser musik rock.

Cockpit termasuk band yang sempat mendulang histeria massa ketika tampil di Pulosari. "Wah, dulu kalo Cockpit manggung bawain lagunya Genesis, vokalis Freddy Tamaela gak perlu nyanyi lagi, sebab penonton satu gedung udah nyanyi semua saking hapalnya!" cerita beberapa orang lawas yang pernah mengalami serunya pertunjukan musik lokal tempo doeloe. Di lokasi yang sama, Micky Jaguar pernah meminum darah kelinci dan langsung ditahan aparat begitu turun dari panggung. Boleh dibilang, manggung di GOR Pulosari bisa menjadi pengalaman terbaik atau yang terburuk bagi setiap musisi manapun.

Angkernya venue yang berkapasitas 5000 penonton itu juga diamini oleh Viva Permadi alias Wiwie GV, seorang musisi/aranjer asal Malang. Dalam wawancaranya dengan Kompas [12 November 2006], ia menganggap GOR Pulosari ibarat pengadilan publik untuk menilai sukses atau tidaknya sebuah band ketika manggung. Ia terkenang sewaktu Godbless manggung di sana pada tahun 1979. Penonton ketika itu tidak puas dengan penampilan Ahmad Albar dkk. Mereka lalu mengamuk dan melempar apapun ke arah panggung. Akhirnya ia mengambil kesimpulan, kalau sebuah band pentas di Malang sampai tidak rusuh, berarti grupband itu berhasil.

Pada dasarnya, dekade '70-an telah mencatat suatu babak awal yang seru dari evolusi rock & roll di kota Malang. Munculnya berbagai aktifitas band dan musisi rock, pertunjukan musik, penonton konser yang seru [dalam konotasi yang aman maupun rusuh!], atau sekedar hura-hura urakan ala anak muda telah membuka wacana baru bagi masyarakat awam. Perlahan, publik mulai mengenal konsep 'rock & roll' baik secara musikal, penampilan, maupun pola pikir. Stigma dan dogma kuno telah mencair. Atau mungkin akan membatu kembali dalam suasana yang lebih baik di masa yang selanjutnya...

[Samack]
Foto & gambar diambil dari netz & dok Solidrock.

Tulisan ini adalah bagian dari proyek dokumentasi scene rock Malang yang dikerjakan oleh Solidrock. Beberapa data dan kutipan diambil dari Kompas Cyber Media. Oke, nantikan artikel selanjutnya [era 1980-an] yang akan tayang dalam waktu dekat. Simak root-nya, mungkin anda bisa belajar dari sejarah!...